Sebagai
kelanjutan dari pembahasan Maulid Nabi, berikut kami sampaikan beberapa
pendapat ulama Ahlus Sunnah dalam menyikapi perayaan tersebut. Semoga bermanfaat.
[Pertama]
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi
mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari
raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha) seperti
perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut
dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8
Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal
-yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul
Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf
(sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak
pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
[Kedua]
Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan
pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut,
beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah
dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu.
Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar Islam
seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh
syari’at. ... Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya
beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran
beliau sekaligus juga kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau
dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar.
Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini
dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya,
juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi,
perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang
yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan
permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. ...”
Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas
faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari
penghamburan harta yang memberatkan [?]” (As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139)
[Ketiga]
Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid
memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga
dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama
menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu.
Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat
digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia,
sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau
dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid
bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau
pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya
sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang
meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat,
tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap
hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang
namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum
muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan
terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183)
0 komentar:
Posting Komentar